Ledifha.com – NEW YORK – Suasana tegang menyelimuti kantor pusat Google di dalam Manhattan ketika Zelda Montes dan juga dua rekannya melakukan aksi membantah menentang Project Nimbus.
Project Nimbus belakangan memang benar padat dibicarakan. Yakni, proyek kemitraan Google dan juga Amazon dengan pemerintah negara Israel senilai USD1,2 miliar (Rp18,8 triliun).
Aksi duduk selama 10 jam yang dimaksud berakhir dengan pemecatan 50 karyawan, termasuk Montes.
Project Nimbus: Kontroversi dan juga Penolakan
Project Nimbus adalah proyek cloud computing yang menyediakan layanan ke berbagai cabang pemerintah Israel, termasuk kementerian pertahanan serta militer.
Proyek ini menuai kontroversi kemudian penolakan dari sebagian karyawan Google (atau yang dimaksud disebut “Googlers”) yang dimaksud khawatir teknologi merek digunakan untuk membantu kebijakan negeri Israel terhadap Palestina.
Perlawanan dari Dalam
Sejak konflik Israel-Hamas di area Kawasan Gaza pecah pada 7 Oktober 2023, seruan untuk menghentikan Project Nimbus semakin meningkat. Para karyawan Google melakukan berunjuk rasa fisik lalu virtual, mengkhawatirkan keterlibatan perusahaan di apa yang dimaksud merek sebut sebagai genosida.
Namun, aksi berunjuk rasa yang disebutkan dihadapi dengan penindasan dari Google. Perusahaan membantah klaim aktivis bahwa teknologinya terlibat pada kampanye brutal negeri Israel di area Gaza. Sejumlah karyawan mengaku dibungkam, dipecat, kemudian diancam oleh sebab itu menyuarakan pendapat mereka.
“Saya memiliki rekan kerja yang dapat dimaklumi khawatir untuk berbicara lalu khawatir tentang konsekuensinya,” kata Zelda Montes, mantan karyawan Google.
Pengalaman Para Googler
Middle East Eye mewawancarai beberapa Googler di tempat Negeri Paman Sam kemudian Eropa. Banyak yang digunakan memohonkan anonimitas akibat takut kehilangan pekerjaan. Mereka menceritakan bagaimana mereka mengorganisir diri serta bagaimana Google mencoba menghentikan aktivisme mereka dengan sensor, pemecatan, dan juga ancaman.
No Tech for Apartheid
Beberapa karyawan diam-diam menyebabkan kelompok yang disebut sebagai No Tech for Apartheid. Mereka berkampanye agar perusahaan teknologi dalam Silicon Valley tidaklah lagi ambil bagian pada kegiatan yang tersebut merek sebut sebagai “pembersihan etnis Kawasan Gaza yang sedang berlangsung juga pengeboman genosida Gaza”.
Mengabaikan Kekhawatiran
Montes kemudian rekan-rekannya menyampaikan pertanyaan serta keprihatinan tentang apakah tanah Israel menggunakan pekerjaan merek untuk melancarkan peperangan di tempat Gaza.
Mereka juga mempertanyakan mengapa Google menerima uang dari pemerintah negara Israel untuk menayangkan iklan propaganda melawan UNRWA, badan PBB yang tersebut memberikan dukungan bagi pengungsi Palestina.
“Kapan pun kami menyinggung Project Nimbus dalam obrolan internal atau selama rapat umum, pertanyaan yang dimaksud akan dimoderasi atau dihindari,” kenang Montes.
Sensor serta Intimidasi
Para Googler yang digunakan berpartisipasi menyuarakan pendapat mereka itu mengaku mengalami sensor internal lalu intimidasi dari rekan kerja yang dimaksud pro-Israel.
“Kapan pun kata genosida atau apartheid muncul, moderator akan segera menghapus komentar tanpa peringatan tegas atau mengunci forum untuk menjaga dari orang terlibat lebih besar jauh,” jelas Alex Cheung, mantan karyawan Google.
Kontras dengan Bantuan untuk Ukraina
Para Googler mencatatkan data bahwa reaksi perusahaan terhadap aktivisme merekan sangat berbeda dengan tanggapannya terhadap konflik pada Ukraina.
“Ketika pertempuran dalam negeri Ukraina pecah, Google mengirimkan arahan dukungan untuk orang negeri Ukraina lalu Rusia yang bekerja di area perusahaan tersebut,” kata Clare Ward, yang digunakan mengajukan permohonan nama samaran akibat takut akan pembalasan dari Google.
Aktivisme pada Luar Jaringan
Karena sensor yang dilaksanakan secara virtual, para Googler mulai memindahkan aktivisme mereka itu ke dunia nyata dengan melakukan aksi tabling serta mencoba mengorganisir acara juga pemutaran film untuk mendidik rekan-rekan mereka tentang Palestina. Namun, manajemen Google menghentikan acara-acara yang dimaksud dengan alasan keamanan.
Pemecatan juga Ancaman
Puncaknya adalah ketika bom negeri Israel menewaskan pribadi software engineer Palestina, Mai Ubeid, juga seluruh keluarganya di area Wilayah Gaza pada akhir Oktober 2023. Para Googler mengorganisir aksi jaga pada luar kantor dia di area New York, Seattle, serta London untuk Ubeid. Namun, aksi jaga yang disebutkan dihadapi dengan permusuhan dari Google juga rekan kerja.
Puncak dari aksi mengkritik ini adalah ketika para pekerja, termasuk Montes, Cheung, serta Hasan, memutuskan untuk melakukan aksi duduk pada kantor perusahaan di dalam New York City serta Sunnyvale, California. Mereka menempati pintu masuk kantor perusahaan dan juga kantor kepala eksekutif Google Cloud, Thomas Kurian, selama 10 jam.
Perusahaan memanggil polisi dan juga menghentikan 28 pekerja dalam tempat kemudian 22 lainnya pasca penyelidikan yang dimaksud melibatkan analisisrekamanCCTV.